Usul Asal Tanah Lomba

Komunitas adat Lomba atau kini dikenal sebagai Romba merupakan  sebuah satuan wilayah  yang disebut  udu mbuju eko lomba.  Mbuju di sebelah utara,dan pantai lomba di sebelah selatan. Ada 3 kampung yang termasuk dalam kesatuan kampung Lomba. Rombawawo, Romba Wena dan Romba Nuamuri. Dalam keseharian  selalu disebut Lomba Ua, artinya Lomba dan Ua. Ua di sebelah barat Lomba Wawo,walau semua penduduknya masih kerabat dengan orang Romba, tetapi tanah ini milik  Todi Wawi dari Jawawawo. Dalam urusan adat kampung Ua merupakan bagian dari Jawawawo. Masyarakat Jawawo mengakui bahwa Ua Lomba Wawo Kota merupakan komunitas adat Jawawawo.

Asal usul nama Romba berasal dari kata lomba  yang berarti insang ikan. Mau Lomba berarti pantai yang  bertebaran insang ikan.  Karena lokasinya persis di pinggir laut, tempat ini dijadidkan tempat pengeringan ikan oleh nelayan dari pulau Ende.  Bila hasil tangkapannya banyak, orang membelahnya dan mengeringkan di pantai yang berbatu.


Para nelayan dari pulau Ende  selain mencari ikan mereka juga mencari hasil pertanian seperti kelapa, pisang, ubi atau jagung dan kadang mereka membawa wadah untuk mengambil air tawar dari sumur di daratan pulau Flores. Karena di pulau Ende kesulitan air tawar.

 Secara geografis kampung Romba  berada di pantai selatan pulau Flores, merupakan bagian dari desa Witurombaua (Witu Romba Ua), yang meliputi 3 kampung dengan tiga komunitas adat.  Witu Mauara, Romba (Romba Wawo,Romba Wena dan Romba Nuamuri) dan Ua yang sebagai bagian dari komunitas adat Jawawawo.

Kampung  Romba secara administratif pemerintahan berada di Desa Witurombaua, Kecamatan Keo Tengah, Nusa Tenggara Timur.  Nama Desa berasal dari himpunan nama kampung Witu Mauara, Romba dan Ua. Letaknya diantara desa Udiworowatu di barat dan desa Kotodirumali di sebelah timur. Sebagai satu kesatuan komunitas adat ,kampung Romba berbatasan bagian timur ada kampung Daja, bagian barat kampung Witu Mauara, di utara gunung Koto dan Laut Sawu di bagian selatan.

Sebelum terbentuknya pemerintahan desa  wilayah adalah Hamente Pautola dengan kepala mere  (kapitan) Mohamad Saleh Ria yang berkedudukan di Romba.  Ini  menjadi bukti historis  bahwa tanah Romba adalah milik orang Pautola. Pemilik  tanah Romba adalah Ejo Keo. Inilah tanah yang sebelumnya dimiliki oleh Rogo Rabi, seorang pelaut asal Goa dari Makassar. Rogo Rabi dan penghuni pertama tanah Romba.




Dipublikasi di SEJARAH KAMPUNG ROMBA, Uncategorized | Meninggalkan komentar

Rumba Onu orang Bero Penghuni Pertama Tana Romba Setelah Rogo Rabi

Sesudah Rogo Rabi meninggal tanah yang selama ini dikuasai Rogo Rabi dan menjadi milik Ejo Keo tidak ada yang tinggal dan menggarapnya. Tanah kosong tak berpenghuni. Tanah itu kemudian dihuni oleh pera pengungsi dari Kedi Beo, yang sekarang dikenal dengan ata Bero dengan seorang tokoh yang terkenal bernama Rumba Onu.

Orang Bero berasal dari gunung Beo (Kedi Beo), di wilayah gunung Koto. Mereka berasal dari kampung Beo. Pada suatu waktu terjadi wabah melanda kampung ini. Dimana-mana terdapat kaki seribu, di tanah, di tempat mata air dan rumah penuh dengan kaki seribu. Karena merasa sangat terganggu dan tidak bisa tahan semua warga kampung Beo mengungsi dan melarikan diri ke tempat lain. Ada yang berpindah ke Bheda Bajo, lainnya menyebar ke utara hingga ke wilayah Kelimando. Ada yang berpindah ke ara timur seperti Bheda Mbamo,  Bhera di Nangapenda, sampai ke Kelimando di pulau Ende. Dan sebahagian berpindah ke pantai Basandai di sebelah barat Nangaroro. Inilah kelompok Rumba Onu dan kawan-kawan.

Orang-orang dari kampung Beo menetap beberapa waktu di Basandai. Kelompok ini kemudian disebut ata Bero (Beo menjadi Bero dipengaruh bahasa Ende). Orang Bero ini tinggal di Basandai sampai terjadi suatu peristiwa aneh. Yaitu bahwa ada banyak ikan mana terdampar jauh ke darat. Ini sebenarnya  hal yang biasa dan bisa dipahami. Karena masa itu laut masih jernih penuh dengan tumbuhan laut, ikan-ikan banyak berkumpul dan bermain di atas permukaan ombak. Ikan-ikan kecil ini kemudian disambar oleeh kawan ikan mana yang mencari mangsa.  Karena ikan mena menyambar sangat kencang  saat kawan ikan kecil diatas gulungan ombak’, maka ikan mana terdampar di darat. Karena banyaknya ikan mana yang terdampar di darat, orang gunung berpikir bahwa ini adalah pratanda buruk. Mereka takut tinggal di daearah pantai yang sepi itu,  berpindah ke barat kemudian mereka sampai ke Ombotoli sebuah lembah sejuk di wilayah Romba.

Ketika orang Bero sampai di Ombotoli, dimana-mana belum ada orang. Mereka tidak mengetahui siapa pemilik tanah itu. Karena pemilik tanahnya berada di tempat yang jauh. Tanah ini adalah miliknya Ejo Keo, sebagai upah jerih payah mengusir bahkan membunuh Rogo Rabi. Tanah ini selama ini tidak ada yang menjaga dan mengolahnya. Di tempat ini orang Bero memutuskan membangun tempat tinggal, berkebun, beternak dan mengiris tuak.

Suatu  ketika, Ejo Keo datang dari Kodiwuwu untuk meninjau tanahnya (dasa ku tana). Ketika sampai di Ombotoli, dia melihat ada asap mengepul, dan ada orang di atas pohon lontar (kewi tua).  Ejo Keo kaget dan sedikit marah bertanya siapa mereka.

Rumba Onu yang sedikit ketakutan, kemudian dia memanggil teman-teman lain termasuk yang berada di atas pohon lontar. Mereka datang dan menghadap Ejo Keo. Sekali lagi Ejo Keo menanyakan kepada mereka semua dari mana asalnya. Kenapa mereka tinggal dan berkebun di tanahnya.

Rumba Onu sebagai yang dituakan, dia meminta maaf pada Ejo Keo dan menyapa embu lalu menjelaskan tentang mereka. Bahwa mereka adalah pengungsi dari kampung Beo. Mereka pindah karena terjadi hama kaki seribu. Kakai seribu secara besar-besarnya berada di mana-mana hingga ke dalam rumah.Mereka berpindah karena ‘ngota wika’ (hama kaki seribu). Dari kampung Beo mereka  berpindah ke pantai di Basandai. Tetapi mereka mengalami peristiwa yang menakutkan karena pernah ada ikan mana sangat banyak menyerbu sampai darat (mana wika).

Kemudian Ejo Keo menaruh belas kasihan keepada orang-orang Bero. Dia mengizinkan mereka untuk tinggal dan berkebun di situ untuk menjaga tanahnya. Mereka diminta untuk membangun rumah di kampung, tempat yang dulunya Rogo Rabi tinggal. Tetapi rumah-rumah dikampung itu telah dibakar saat ada permusuhan antara Ejo Keo dan Rogo Rabi. Orang Bero akhirnya tinggal menetap di Romba  dan menjadi penghuni tanah Romba pertama setelah Rogo Rabi terbunuh dan Ejo Keo memperoleh bagian dari tanah di Romba.

Dipublikasi di SEJARAH KAMPUNG ROMBA, Uncategorized | Tag | Meninggalkan komentar

EJO KEO SIAP PERANG MELAWAN ROGO RABI

 

Orang-orang Kodiwuwu sudah bulat tekadnya untuk mengusir Rogo Rabi dan bila perlu membunuhnya. Mereka sudah meminta bantuan pemuka masyarakat adat dari kampung terdekat dengan Romba.
Pertama mereka meminta pendapat Rangga Ame Ari dari Nuaora. Tetapi Rangga Ame Ari tidak ingin terlibat langsung karena istrinya Bati Bartaso adalah saudari kandung Rogo Rabi. Dia mengusulkan untuk ke Jawawawo hubungi Todiwawi.

Kemudian mereka bertatap muka dengan Batu Sebho dari Jawawawo , ayah angkat Todiwawi. Batu Sebho dengan tegas memberi mandat kepada Todi Wawi. “Fai ma’e mesu fai, ana ma’e mesu ana. Ta bhide ke kita ngada nggae gati.”
Sekarang pelaksanaannya berada di Ejo Keo,Meo  Sia dan Todi Wawi.

Semua mengetahui bahwa Rogo Rabi seorang pemberani dan cerdik. Selain itu Rogo Rabi diketahui memiliki ilmu kebal (kobho sibha). Karena itu mereka harus berhati-hati. Mereka harus tahu kapan saat terbaik untuk menyerang Rogo Rabi.

Todi wawi karena berhubungan dengan istrinya Ito Rabi, dia sebagian besar waktu berada di rumah Rogo Rabi. Todi Wawi mengetahui kebiasaan RogoRabi. Pada setiap sore setelah mandi di pantai Romba dan bersholat, Rogo Rabi selalu menghabiskan malam di rumah seorang wanita di Kedidiru.  Jadi Rogo Rabi setelah mandi di sumur di pantai dekat sebuah batu besar lonjong di sisi timur Dokamboa, dia akan bermalam di Kedidiru sampai pagi. Semua terpantau dengan baik oleh Todi Wawi. Dan ini menjadi informasi yang berharga bagi kelompok Ejo Keo dan Meo Sia.

Maka direncanakan penyerangan untuk membakar kampung Romba. Selain kampung Romba mereka ingin membakar kampung Bhati. Orang Kodiwuwu menaruh dendam dengan orang Bhati, karena orang Bhati penyadap moke memberikan informasi yang mengakibatkan lima pemuda Kodiwuwu dibunuh dengan sangat kejam oleh Rogo Rabi.

Sekelompok ikut bersama Todi Wawi pergi ke kampung Romba.
Dan beberapa orang lain pergi ke kampung Bhati.  Malam itu diadakan makan-makan dengan lauk yang sangat pedis. Disedikan minuman moke. Minuman disediakan dua tempat ada yang sudah dicampur dengan akar pohon yang memabukkan dan ada moke murni.  Moke yang bercampur akar disediakan bagi penghuni kampung Bhati dann juga kelompok Rogo Rabi di Romba.

Malam semakin larut.Orang Kodiwuwu memberitahukan kepada orang Bhati bahwa kampung Bhati akan diserang. Karena itu semua harus terus berjaga. Pada saat berjaga itu mereka makan dan minum sampai mabuk. Orang Bhati mabuk, rumah-rumah di kampung Bhati dibakar menjelang fajar.

Di Romba keadaan seperti aman-saja. Todi Wawi adalah penghuni kampung Romba. Dia mengundang orang Romba keluarga Rabi untuk ikut makan bersama dengan lauk pedis. Karena sangat pedisnya mereka kemudian minum tuak secara terus menerus.  Ada orang yang mulai mabuk minta pulang ke rumah masing-masing. Saat itu Todi Wawi datang dan membunuh mereka satu persatu di rumah mereka. 

Todi Wawi mengingat pesan ayahnya Batu Sebho. Fai mae mesu fai, ana ma’e mesu ana. Dalam dilemma besar, antara cinta pada istri dan anak atau bakti pada perintah sang bapak. Dan dia memilih membunuh istrinya sendiri. Saat itu Ito Rabi sedang mengandung buah perkawinannya Todi Wawi dan Ito Rabi.
 Rumah Rogo Rabi dibakar  bersama istri Todi Wawi yang sudah dibunuhnya. Rumah lain di kampung semua dibakar bersama penghuninya.

Hari menjalang fajar. Ada kebakaran di dua tempat. Kampung Bhati habis dilalap api. Demikian juga kampung Romba api menyala membumbung tinggi. Todi Wawi dan kawan-kawan segera melarikan diri ke Peipoo.

Saat pagi ada seorang anak gadis kecil bermain ayunan di bawah kolong rumah di mana Rogo Rabi tidur bersama kwkasihnya di Kedidiru, yang terletak di sebelah timur kampung Romba.
Anak gadis kecil   bermain ayunan pada kain yang digantung di bawah kolong rumah. Saat dia menoleh ke barat dia melihat asap dan nyala api begitu tinggi di kampung Romba. Dia juga tahu itu rumah tinggal Rogo Rabi. Dia ingin menyampaikan pada Rogo Rabi. Tetapi karena takut akan menganggu Rogo Rabi yang masih tidur, dia bernyanyi dan berpantun kecil,menjelaskan bahwa api sudah membubung tinggi di barat. Karena Rogo masih sajaa tidur, dia semakin kencang berpantun. Akhir rogo Rabi terbangun dan melihat ke barat. Rumahnya sedang dilalap api.

Rogo Rabi kemudian segera bergegas pergi ke Romba. Dia hanya melihat di gerbang kampung. Semuanya ludes dilalap api. Dia tahu bahwa ini ulah orang Kodiwuwu, kelompok Ejo Keo dan Meo Sia.
Dijalan sudah ada yang menjaga ingin mencegat Rogo Rabi. Tetapi Rogo Rabi menghindar dan mencari jalan sendiri hingga di Peipoo. Di sana sudah ada orang orang Kodiwuwu, termasuk Ejo Keo. Begitu melihat Rogo Rabi datang, Ejo Keo memegang batu segenggam tangan. Sambil bersumpah: ini batu, kalau memang salahmu, ini dia.. , seketika dia melemparkan batu itu, dan Rogo menggerakkan kepala kesamping, dan batu tepat di kepala dekat matanya, Rogo pun rubuh. Saat itu mereka menyeret dia dalam keadaan masih bernapas. Ingin menguburkannya. Mereka menggali sebuah lubang makam di Watukuru. Todi Wawi masih dengan parang di tangan, masih basah dengan darah segar dari Romba. Dia memastikan bahwa Rogo Rabi telah meninggal lalu dipotong lehernya. Dan Rogo pun tidak bernapas lagi. Kemudian mereka segera menguburkannya di Watukuru.  Watukuru adalah sebuah nama yang diberikan pada tempat ini kemudian, karena pada makam ini diberi tanda batu yang ditegakkan.

Todi Wawi langsung kembali ke Jawawawo. Dia masuk rumah bertemu dengan  Batu Sebho. Dia langsung mengatakan kepada Batu Sebho.  Bapa, negha ka, topo dhatu nee la menga ke. (Bapa, selesai sudah, parang masih penuh darah).  Todi Wawi kemudian meenjelaskan tentang semua yang terjadi dengan pembakaran rumah pembunuhan Ito Rabi yang sedang mengandung dan juga akhirnya dia memutuskan urat leher Rogo Rabi. 
Parang tersebut kemudian dibersihkan dan disimpan.  Parang tersebut tersimpan dengan baik sampai sekarang  dan disebut ‘topo rore rogo. (parang sembelih rogo).

Makam Rogo Rabi sampai saat ini berada tidak jauh dari sumur dekat rumah Ghani Nggo. Posisinya berada di atas jalan, dan sudah tertutup susunan batu penahan erosi.

Setelah wafatnya Rogo Rabi, beberapa orang Bugis melarikan diri. Termasuk orang kampung Bhati yang sedang dalam perahu, melihat kampung mereka dibakar langsung melarikan diri. Ada yang melarikan diri ke Barat, Sigho Mboro dan Wio. Orang Bhati menuju timur di wilayah Lio.

Rogo Rabi dan Ito Rabi meninggal karena dibunuh. Boti Bartaso meninggal karena terjatuh, tergelincir di tebing berbatu. Boti Bar. Istri dari Rangga Ame Ari tidak memiliki keturunan. Karena itu tidak ada sisa keluarga Bugis di Romba.

Ketika keadaan sedikit aman, Ejo Keo, Meo Sia,Todi Wawi, dan Rangga Ame Ari merayakan syukuran (kobi lunga), mengeringkan keringat dan mendinginkan susana serta batin. Mereka makan bersama.

Mereka kemudian membicarakan mengenai tanah yang ditinggalkan Rogo Rabi. Dibicarakan bagaimana memberi imbalan atas partisipasinya.

Rangga Ame Ari diberikan emas satu bakul ( wea ha mboda nggada). Kepada Todiwawi ditawarkan budak (ho’o eo). Todi Wawi menolak karena tidak ingin kelak bermasalah dengan para budak. Todi Wawi ingin mendapat seimbang dengan pengorbanannya yaitu istri dan anaknya. Dia menginginkan sesuatu sebagai “kudhu kete” (penghangat).

Akhirnya disepakati pembagian tanah Rogo Rabi

  • Todi Wawi mendapat tana fai watu ana, sebagai im balan karena telah mengorbankan istri dan anak). Loksi tanahnya adalah mulai dari kapela Mauara sekarang sampai Koladowo Sape sampai Ua.
  • Meo Sia mendapat tana to’o jogho mbana daka, sebagai penghargaan atas dukungan dan kerja sama melawan Rogo Rabi. Lokasi tanah mulai dari Koladowo Sape sampai Puu Mboa (Dokamboa).
  • Ejo Keo mendapat tana kote kaka wai mbambi, sebagai penghargaan kepada Ejo Keo, yang telah mendapat hinaan dari Rogo Rabi, karena kote kaka wai mbambi (pakaian robek dan bertambal). Lokasi tanah dari Dokamboa sampai Kutonda.

Dipublikasi di SEJARAH KAMPUNG ROMBA, Uncategorized | Meninggalkan komentar

KODIWUWU MEMBARA

Hubungan Ejo Keo dengan Rogo Rabi memanas. Ejo Keo, seorang pemuka masyarakat, tidak mudah tersulut emosinya.  Kearifan adat tuka mere kambu kapa (mencerna masalah)  sudah berurat akan dan mengajarkan dia untuk sabar selama ini.

Tapi sekarang  kemarahan orang Kodiwuwu mencapai puncaknya.  Penghinaan yang dilakukan oleh Rogo Rabi terhadap Ejo Keo,  seperti luka lama yang terbuka kembali.  Terasa perih dan sakit.
Rogo Rabi semakin berani bahkan brutal.  Istri dari Meo Sia,Mboda Mere yang akan memberikan makanan babi beranak di sarang, dibunuh oleh Rogo Rabi.  Hanya karena Rogo Rabi tak ingin kehadirannya di Kodiwuwu diketahui orang.

Rogo Rabi seperti kehausan darah. Dia dengan sadis membunuh lima orang  pemuda dari Kodiwuwu  yang pergi mencari pucuk daun lontar. Diantaranya adalah anak-anak dari Meo  Sia.

Ejo Keo pun berinisiatif mengumpulkan warga duduk bersama (bhodu ena te’e mere). Seperti biasa dalam forum adat, ada seorang menanyakan ini masalah  (pata pede apa) dan siapa yang punya masalah (pata pede koo sai). Dan Ejo Keo mengatakan bahwa ini masalah  berkaitaan dengan dirinya.

Semua akhirnya menerima masalah Ejo Keo sebagai masalah bersama. Seorang disakiti, satu kampung turut merasakan. Demikian juga masalah Meo Sia, istri dan anak-anaknya adalah masalah warga sekampung. Semua siap membantu untuk menghadapi dan melawan Rogo Rabi.

Mereka mengetahui bahwa Rogo Rabi memiliki ilmu kebal (kobho sibha). Mereka harus merencanakannya dengan baik. Karena Rogo Rabi tinggal di kampung Romba, yang tempatnya lebih dekat dengan Nuaora , maka  mereka merasa perlu untuk mencari dukungan dari orang Nuaora.

Ejo Keo bersama dengan Meo Sia kemudian datang ke kediaman Rangga Ame Ari di Nuaora.  Mereka menjelaskan kedudukan persoalannya, berkaitan dengan tingkah laku dari Rogo Rabi. Dia telah menghina Ejo Keo, membunuh  Mboda Mere, istri dari Meo  Sia dan membunuh lima orang pemuda dri Kodiwuwu.

Setelah mendengar semua cerita dan rencana untuk mengusir dan kalau perlu membunuh Rogo Rabi, Rangga Ame Ari diam dan berpikir sejenak.  Dia menghadapi dilemma. Dia punya kewajiban moril untuk membantu Ejo Keo dan Meo Sia sebagai warga   yang sudah lama hidup  bertetangga dan bersaudara. Pada sisi lain orang yang akan diperangi adalah saudara kandung Boti Bartaso istri Rangga Ame Ari sendiri.  Dia memiliki kedekatan keluarga,karena Rogo Rabi adalah iparnya.

Rangga Ame Ari akhirnya ingin tidak terlibat langsung dalam menjalankan rencana orang Kodiwuwu.  Rangga Ame Ari mengusulkan satu jalan keluar. Yaitu supaya mereka menghubungi Todi Wawi di Jawa wawo. Alasannyan Todi Wawi masih  sering datang ke rumah Rogo Rabi, karena  dia kawin dengan Ito Rabi, saudari  dari Rogo Rabi. Dia masih serumah dan tahu persis aktivitas harian Rogo Rabi.

Keesokan harinya pada Ejo Keo dan Meo Sia pergi Jawawawo untuk bertemu dengan Todi Wawi.  Todi Wawi tinggal di rumah Batu Sebho, ayah angkat dari Todi Wawi.  Maka Ejo Keo dan Meo Sia pertama bicara dengan Batu Sebho. Batu Sebho  mendengar semua cerita dan rencana mereka. Ternyata sambutan Batu  Sebho seperti menyiram minyak tanah  ke dalam barah api. Dia tidak terima atas kelakuan seeorang pendatang  yang berlaku kejam pada warga setempat.

Lalu Todi Wawi dipanggil dan mendengar semua cerita Ejo Keo dan Meo Sia yang dipertegas oleh  Batu Sebho.  Todi Wawi diam seribu bahasa.  Dia tahu diri bahwa  Rogo Rabi adalah kakak iparnya.  Menyakiti atau pun membunuh Rogo Rabi akan menyakiti hati wanita yang jadi istrinya.

Tetapi Batu Sebho yang sedang marah,  dia memihak pada Ejo Keo dan Meo Sia. Ikut merasakan penghinaan dan penderitaan saudara-saudaranya dari Kodiwuwu.

Batu Sebho tegas meminta Todi Wawi untuk membantu menyelesaikan masalah ini. Bahkan  dengan tegas meminta ikuti rencana   Ejo Keo dan Meo Sia.  Batu Sebho, dengan tegas menginstruksikan  agar Rogo Rabi diusir  dan kalau perlu dibunuh. “ Fai ma’e mesu fai,ana ma’e mesu ana.  Ta peka ke kita ngada nggae gati.” (Abaikan cinta  pada istri dan kasih sayang pada anak. Karena semuanya bisa dicari gantinya).

  Bagi Todi Wawi ucapan yang keluar dari Batu Sebho merupakan perintah seorang bapak pengasuh yang membesarkan dan mendiknya. Perintah orang tua  harus dipatuhi dan dijalankan.  Inilah bekal dan amanat agung kepada Todi Wawi  yang harus dilaksanakan saat bersama kelompok Ejo Keo dan Meo  menyerang Rogo Rabi.

Dipublikasi di SEJARAH KAMPUNG ROMBA, Uncategorized | Meninggalkan komentar

Ejo Keo Merasa Terhina Oleh Perbuatan Rogo Rabi

Ejo Keo berasal dari Kodiwuwu,  Lengga, Pau Tola. Kodiwuwu terletak  di sebelah utara kampung  Maunori. Ejo Keo petani  yang hidup sangat sederhana.  Ejo Keo memiliki seorang isteri bernama Ende. Dan dikarunia seorang anak laki-laki bernama Riwu Ende.

Ejo Keo juga mengangkat seorang anak bernama Dede (Dede Dongga), putera dari Dongga Keo, saudari kandung Ejo Keo.

Ejo Keo menjadi buah bibir setelah bermasalah dengan Rogo Rabi dari kampung Romba. Ejo Keo merasa tersinggung karena merasa dipermalukan oleh perlakuan Rogo Rabi.

Suatu waktu Ejo Keo menjual sirih pinang  (teka wunu mengi) ke rumah Rogo Rabi. Sebagai tamu Rogo Rabi mempersilahkan duduk dan sebagai sahabat yang sudah saling kenal berdua minum tuak. Saat agak mabuk, Rogo Rabi melihat kain yang dikenakan Ejo Keo.

Rogo Rabi mengatakan: Ejo, Ejo,  kau ngole ha go’o ( Ejo diminta mundur). Ejo menjawab sambil mundur: Nee koo apa (ada apa). Tiba-tiba Rogo menyirami kain Rogo Rabi sambil mengatakan: mona, koo ipakua daka ( Tidak.. ada lipan berjalan). Rogo ternyata menyirami kain dengan jahitan kasar bergulung-gulung menyerupai lipan (ipakua).

Setelah sadar bahwa itu bukan lipan, tetapi lipatan kain, Rogo Rabi tertawa. Ejo Keo kemudian merasa tersinggung dan malu mengatakan dengan muka marah: “Rogo, Rogo kau tawa ja’o ta kote kaka ne’e wai mbambi. Modo kita papa tau.”

Rogo yang juga agak mabuk menjawab: “Modo! Kita papa tau.” ( Baik kita berperang).

Keduanya berpisah dalam keadaan marah. Rogo Rabi sedikit santai dan lalu mengambil air menyirami tempat duduk Ejo Keo,ingin membersihkan tempat duduk Ejo Keo. Ejo Keo sangat marah dan merasa direndahkan martabatnya.  Sepanjang jalan ke Kodiwuwu kadang berhenti di batu besar, meludah dan marah.

Sesampai di Kodiwuwu,  emosi Ejo mulai reda dan lupa. Sebaliknya Rogo Rabi terus merasa tertantang dengan ajakan papa tau (berperang). Maklum Rogo Rabi masih sudah punya pengalaman  pahitnya berperang, saat perang Makassar.  Jiwa petarungnya sesekali muncul.

Ejo Keo semakin menunjukkan kuasanya atas  tanah Romba.  Bila ada orang dari Kodiwuwu memotong daun lontar untuk anyaman atau untuk linting rokok, dimarahi dan diusir oleh Rogo Rabi.

Rogo Rabi ingin menantang orang Kodiwuwu dan   datang ke Kodiwuwu dengan cara sembunyi-sembunyi.  Suatu sore dia datang ke Kodiwuwu. Dia datang sembunyi di dekat kandang babi yang sedang beranak. Tiba-tiba datang seorang ibu hendak memberi makanan babi.  Rogo Rabi takut kehadirannya di Kodiwuwu akan ketahuan, dia kemudian menirukan suara babi mengusir ibu tersebut. Begitu mendengar suara Rogo Rabi, ibu itu begitu kaget dan mengatakan saya tahu kamu Rogo Rogo. “ Jao mbeo wau weki koo  Rogo” (saya tahu ini bau badannya Rogo). Rogo  marah, lalu menghunus  pedangnya dan membunuh ibu tersebut. Rogo Rabi melarikan diri kembali ke Romba dan meninggalkan wanita tersebut bersimbah darah tak bernyawa.

Wanita yang menjadi korban kekejaman Rogo Rabi adalah Mboda Mere, istri dari Meo Sia, salah seorang pemuka masyarakat Kodiwuwu.

Orang Kodiwuwu sangat marah dengan ulah Rogo Rabi. Akhirnya Ejo Keo mulai  menceritakan penghinaan Rogo Rabi kepadanya, saat menyirami kainnya dan juga membersihkan tempat dia duduk. Orang  Kodiwuwu akhirnya sepakat ingin menyerang Rogo Rabi.
Sejak itu Rogo Rabi mulai dipantau pergerakannya.  Untuk itu orang Kodiwuwu mengirim  6 orang pemuda ke Romba. Mereka berpura-pura mencari daun lontar.  Melihat orang Kodiwuwu datang untuk memotong daun lontar, Rogo Rabi mengejar mereka. Mereka kemudian melarikan diri ketakutan dan  bersembunyi di dalam lubang pohon ndanga di dekat Peipoo .  Tidak lama Rogo Rabi yang kecapaian duduk bersandar di bawah pohon danga yang sama.

Ada seorang dari kampung Bhati yang  terletak di sebuah bukit di sebelah timur Nuaora. Persis di sebelah utara kampung Maunday. Bapak tersebut sedang berada di atas pohon lontar dekat Peipoo, sedang menjapit mayang buah lontar untukmengalirkan air nira ke bamboo (dhembe).


Dia menyaksikan ada 6orang anak muda berlari kencang  kemudian mereka bersembunyi dalam lobang pohon ndanga.  Tidak lama datang Rogo Rabi sambil berlari mengejar keenam pemuda itu. Dia kehilangan jejak. Karena lelah  Rogo Rabi duduk  bersandar pada batang pohon ndanga yang besar itu.
Bapak penyadap nira, mengetahui bahwa Rogo Rabi sedang mencari  6 orang  pemuda itu.  Dia mengetuk-ngetuk  dhembe dengan  punggung pisaunya sambil mengucapkan bahasa sandi, “  nonggo ana ( ondo nanga), karena masih belum ada reaksi dari Rogo Rabi, dia mengulang sampai 3kali setelah menetuk dhembe dia mengucapkan kata noggo ana.  Maka tersadarlah kata-kata sandi nonggo  anda maksud ondo nanga (lubang pohon ndanga).

Akhirnya Rogo Rabi menangkap memahami kata ondo  ndana (lobang pohon ndanga. Lalu da bangun dan memasuki lobang pohon besar itu ( ondo ndanga).  Dia melihat 5 pemuda duduk berhimpitan dalam lubang pohon ndanga.  Dia segera membunuh ke lima anak muda. Yang seeorang berada di atas dahan.  Setelah Rogo Rabi pergi, dia segera melarikan diri ke kampung di Kodiwuwu.  Diantara anak muda itu ada puteranya Meo Sia.   Kemarahan orang Kodiwuwu memuncak. Ejo Keo pun lalu mengundang para pemuka masyarakat untuk duduk bersama. Mereka sepakat untuk mencari dan membunuh Rogo Rabi.

Dipublikasi di SEJARAH KAMPUNG ROMBA, Uncategorized | 2 Komentar