Orang-orang Kodiwuwu sudah bulat tekadnya untuk mengusir Rogo Rabi dan bila perlu membunuhnya. Mereka sudah meminta bantuan pemuka masyarakat adat dari kampung terdekat dengan Romba.
Pertama mereka meminta pendapat Rangga Ame Ari dari Nuaora. Tetapi Rangga Ame Ari tidak ingin terlibat langsung karena istrinya Bati Bartaso adalah saudari kandung Rogo Rabi. Dia mengusulkan untuk ke Jawawawo hubungi Todiwawi.
Kemudian mereka bertatap muka dengan Batu Sebho dari Jawawawo , ayah angkat Todiwawi. Batu Sebho dengan tegas memberi mandat kepada Todi Wawi. “Fai ma’e mesu fai, ana ma’e mesu ana. Ta bhide ke kita ngada nggae gati.”
Sekarang pelaksanaannya berada di Ejo Keo,Meo Sia dan Todi Wawi.
Semua mengetahui bahwa Rogo Rabi seorang pemberani dan cerdik. Selain itu Rogo Rabi diketahui memiliki ilmu kebal (kobho sibha). Karena itu mereka harus berhati-hati. Mereka harus tahu kapan saat terbaik untuk menyerang Rogo Rabi.
Todi wawi karena berhubungan dengan istrinya Ito Rabi, dia sebagian besar waktu berada di rumah Rogo Rabi. Todi Wawi mengetahui kebiasaan RogoRabi. Pada setiap sore setelah mandi di pantai Romba dan bersholat, Rogo Rabi selalu menghabiskan malam di rumah seorang wanita di Kedidiru. Jadi Rogo Rabi setelah mandi di sumur di pantai dekat sebuah batu besar lonjong di sisi timur Dokamboa, dia akan bermalam di Kedidiru sampai pagi. Semua terpantau dengan baik oleh Todi Wawi. Dan ini menjadi informasi yang berharga bagi kelompok Ejo Keo dan Meo Sia.
Maka direncanakan penyerangan untuk membakar kampung Romba. Selain kampung Romba mereka ingin membakar kampung Bhati. Orang Kodiwuwu menaruh dendam dengan orang Bhati, karena orang Bhati penyadap moke memberikan informasi yang mengakibatkan lima pemuda Kodiwuwu dibunuh dengan sangat kejam oleh Rogo Rabi.
Sekelompok ikut bersama Todi Wawi pergi ke kampung Romba.
Dan beberapa orang lain pergi ke kampung Bhati. Malam itu diadakan makan-makan dengan lauk yang sangat pedis. Disedikan minuman moke. Minuman disediakan dua tempat ada yang sudah dicampur dengan akar pohon yang memabukkan dan ada moke murni. Moke yang bercampur akar disediakan bagi penghuni kampung Bhati dann juga kelompok Rogo Rabi di Romba.
Malam semakin larut.Orang Kodiwuwu memberitahukan kepada orang Bhati bahwa kampung Bhati akan diserang. Karena itu semua harus terus berjaga. Pada saat berjaga itu mereka makan dan minum sampai mabuk. Orang Bhati mabuk, rumah-rumah di kampung Bhati dibakar menjelang fajar.
Di Romba keadaan seperti aman-saja. Todi Wawi adalah penghuni kampung Romba. Dia mengundang orang Romba keluarga Rabi untuk ikut makan bersama dengan lauk pedis. Karena sangat pedisnya mereka kemudian minum tuak secara terus menerus. Ada orang yang mulai mabuk minta pulang ke rumah masing-masing. Saat itu Todi Wawi datang dan membunuh mereka satu persatu di rumah mereka.
Todi Wawi mengingat pesan ayahnya Batu Sebho. Fai mae mesu fai, ana ma’e mesu ana. Dalam dilemma besar, antara cinta pada istri dan anak atau bakti pada perintah sang bapak. Dan dia memilih membunuh istrinya sendiri. Saat itu Ito Rabi sedang mengandung buah perkawinannya Todi Wawi dan Ito Rabi.
Rumah Rogo Rabi dibakar bersama istri Todi Wawi yang sudah dibunuhnya. Rumah lain di kampung semua dibakar bersama penghuninya.
Hari menjalang fajar. Ada kebakaran di dua tempat. Kampung Bhati habis dilalap api. Demikian juga kampung Romba api menyala membumbung tinggi. Todi Wawi dan kawan-kawan segera melarikan diri ke Peipoo.
Saat pagi ada seorang anak gadis kecil bermain ayunan di bawah kolong rumah di mana Rogo Rabi tidur bersama kwkasihnya di Kedidiru, yang terletak di sebelah timur kampung Romba.
Anak gadis kecil bermain ayunan pada kain yang digantung di bawah kolong rumah. Saat dia menoleh ke barat dia melihat asap dan nyala api begitu tinggi di kampung Romba. Dia juga tahu itu rumah tinggal Rogo Rabi. Dia ingin menyampaikan pada Rogo Rabi. Tetapi karena takut akan menganggu Rogo Rabi yang masih tidur, dia bernyanyi dan berpantun kecil,menjelaskan bahwa api sudah membubung tinggi di barat. Karena Rogo masih sajaa tidur, dia semakin kencang berpantun. Akhir rogo Rabi terbangun dan melihat ke barat. Rumahnya sedang dilalap api.
Rogo Rabi kemudian segera bergegas pergi ke Romba. Dia hanya melihat di gerbang kampung. Semuanya ludes dilalap api. Dia tahu bahwa ini ulah orang Kodiwuwu, kelompok Ejo Keo dan Meo Sia.
Dijalan sudah ada yang menjaga ingin mencegat Rogo Rabi. Tetapi Rogo Rabi menghindar dan mencari jalan sendiri hingga di Peipoo. Di sana sudah ada orang orang Kodiwuwu, termasuk Ejo Keo. Begitu melihat Rogo Rabi datang, Ejo Keo memegang batu segenggam tangan. Sambil bersumpah: ini batu, kalau memang salahmu, ini dia.. , seketika dia melemparkan batu itu, dan Rogo menggerakkan kepala kesamping, dan batu tepat di kepala dekat matanya, Rogo pun rubuh. Saat itu mereka menyeret dia dalam keadaan masih bernapas. Ingin menguburkannya. Mereka menggali sebuah lubang makam di Watukuru. Todi Wawi masih dengan parang di tangan, masih basah dengan darah segar dari Romba. Dia memastikan bahwa Rogo Rabi telah meninggal lalu dipotong lehernya. Dan Rogo pun tidak bernapas lagi. Kemudian mereka segera menguburkannya di Watukuru. Watukuru adalah sebuah nama yang diberikan pada tempat ini kemudian, karena pada makam ini diberi tanda batu yang ditegakkan.
Todi Wawi langsung kembali ke Jawawawo. Dia masuk rumah bertemu dengan Batu Sebho. Dia langsung mengatakan kepada Batu Sebho. Bapa, negha ka, topo dhatu nee la menga ke. (Bapa, selesai sudah, parang masih penuh darah). Todi Wawi kemudian meenjelaskan tentang semua yang terjadi dengan pembakaran rumah pembunuhan Ito Rabi yang sedang mengandung dan juga akhirnya dia memutuskan urat leher Rogo Rabi.
Parang tersebut kemudian dibersihkan dan disimpan. Parang tersebut tersimpan dengan baik sampai sekarang dan disebut ‘topo rore rogo. (parang sembelih rogo).
Makam Rogo Rabi sampai saat ini berada tidak jauh dari sumur dekat rumah Ghani Nggo. Posisinya berada di atas jalan, dan sudah tertutup susunan batu penahan erosi.
Setelah wafatnya Rogo Rabi, beberapa orang Bugis melarikan diri. Termasuk orang kampung Bhati yang sedang dalam perahu, melihat kampung mereka dibakar langsung melarikan diri. Ada yang melarikan diri ke Barat, Sigho Mboro dan Wio. Orang Bhati menuju timur di wilayah Lio.
Rogo Rabi dan Ito Rabi meninggal karena dibunuh. Boti Bartaso meninggal karena terjatuh, tergelincir di tebing berbatu. Boti Bar. Istri dari Rangga Ame Ari tidak memiliki keturunan. Karena itu tidak ada sisa keluarga Bugis di Romba.
Ketika keadaan sedikit aman, Ejo Keo, Meo Sia,Todi Wawi, dan Rangga Ame Ari merayakan syukuran (kobi lunga), mengeringkan keringat dan mendinginkan susana serta batin. Mereka makan bersama.
Mereka kemudian membicarakan mengenai tanah yang ditinggalkan Rogo Rabi. Dibicarakan bagaimana memberi imbalan atas partisipasinya.
Rangga Ame Ari diberikan emas satu bakul ( wea ha mboda nggada). Kepada Todiwawi ditawarkan budak (ho’o eo). Todi Wawi menolak karena tidak ingin kelak bermasalah dengan para budak. Todi Wawi ingin mendapat seimbang dengan pengorbanannya yaitu istri dan anaknya. Dia menginginkan sesuatu sebagai “kudhu kete” (penghangat).
Akhirnya disepakati pembagian tanah Rogo Rabi
- Todi Wawi mendapat tana fai watu ana, sebagai im balan karena telah mengorbankan istri dan anak). Loksi tanahnya adalah mulai dari kapela Mauara sekarang sampai Koladowo Sape sampai Ua.
- Meo Sia mendapat tana to’o jogho mbana daka, sebagai penghargaan atas dukungan dan kerja sama melawan Rogo Rabi. Lokasi tanah mulai dari Koladowo Sape sampai Puu Mboa (Dokamboa).
- Ejo Keo mendapat tana kote kaka wai mbambi, sebagai penghargaan kepada Ejo Keo, yang telah mendapat hinaan dari Rogo Rabi, karena kote kaka wai mbambi (pakaian robek dan bertambal). Lokasi tanah dari Dokamboa sampai Kutonda.