Pagi itu saya menghadiri upacara Misa di tiga buah gereja di Bajawa . Saya bukan termasuk orang yang rajin ke gereja. Ke gereja hanya untuk bertemu seorang teman saya Teddy Mitan seorang imam. Pada pagi yang dingin itu saya diantar oleh Fillus Djogo ke salah satu gereja. Saya mengikuti sampai selesai. Keponakan saya sadar bahwa itu bukan teman saya, maka saya diantar ke pastoran MBC, misa masih berjalan. Saya mengikuti misa juga. Karena gereja cukup panjang maka saya terus masuk agak ketengah. Ternyata yang membuat misa bukan teman yang dicari. Saya terus bersatu dalam doa bersama umat yang sebahagian besar berjaket dan menyelimuti diri dan sebagian lagi mengikat leher dengan kain penahan dingin. Setelah keluar dari gereja saya menelpon teman, dia ternyata baru bangun dan akan mempersembahkan misa di kapel susteran biara Carmel. Akhirnya kami berdua berjalan kaki menuju kapel dan sekali lagi saya mengikuti ibadah. Sesudah misa berlanjut dengan santap pagi. Saya menikmati santapan rohani jasmani di sebuah rumah biara yang selama puluhan tahun hanya dengar cerita.
Kami kembali berjalan kaki ke markas teman saya Teddy Mitan Pr. Walau sudah makan, saya mengatakan bahwa saya masih ingin minum susu. Kami terus menuju ruang makan. Disana sudah tiga orang imam duduk disana. Seorang anak muda berkulit hitam manis, lumayan tampan menyapa dengan hangat ketika diperkenalkan saya orang Maunori. Saya mengambil tempat duduk disebelah kanannya. Dia seketika mengetahui dengan jelas asal usul saya bahkan keluarga saya. Dia bercerita dengan kelakar bahwa dia sudah pernah bergurau dengan bapak saya, Arnoldus Rangga Wea. Waktu itu dia memperkenalkan diri sebagai seorang guru. Dia datang untuk melamar puteri bapak. Bapak saya karena usia lanjut tidak pernah lagi berjalan kaki ke kapel terdekat di Watunggegha , sekitar 300 m dari rumah kami. Bapak tidak kenal nama-nama apa lagi wajah pastor paroki. Pater Faustin Sega dengan mengenakan topi untuk lebih menutupi wajahnya memperkenalkan diri pada orang sepuh itu. Ayah waktu itu masih segar, bisa melihat dan mendengar dengan baik. Pastor muda ini bercanda dan memperkenalkan diri sebagai guru, yang datang untuk mengenal orang tua puteri bapak. Waktu itu saudari bungsu kami baru menyelesaikan kuliahnya. Semua percakapan diarahkan secara sengaja sampai membuat bapak agak marah. Kemudian membuahkan suasana riang dan tawa dalam keluarga. Faustin hanya bercanda dan menggoda.
Percakapan kami tidak lama. Dari percakapan ringan dan santai itu saya kenal dia sebagai seorang anak muda yang bermasyarakat. Dia periang. Saya akhirnya harus meninggalkan ruang itu untuk meringkas waktu. Sampai pada Sabtu tanggal 18 Oktober 2008, ketika melakukan komunikasi dengan adik saya Anton di Mauromba, diberitakan bahwa Rm Faustinus diketemukan tewas mengenaskan dengan badan sudah membusuk. Hidup itu begitu pendek, tetapi kematian yang mengenaskan mengundang iba dan tanya. Apa salahnya. Tegakah orang beriman menghabiskan nyawa imamnya dengan sebegitu sadisnya? Iman tidak berhenti dengan berdoa dan beribadat, iman harus diwujudnyatakan dalam tutur dan laku di luar rumah ibadah. Kalau saja ada salahnya Rm Faustin bukankah ada kesempatan untuk mewujudkan sikap imannya memaafkan. Atau kalau tidak bukankah kita diam di negara hukum, kebenaran dan salah diakui. Kita tidak lagi berada dalam keterpencilan desa di rimba dengan hukum kekerasan dan kesadisan. Darah yang tersembah membasahi bumi untuk harga nyawa ciptaan Tuhan paling mulia pasti ada maknanya. Semuanya akan dicelikkan matanya memahami makna dari semuanya. Requiescat In Pace. Faustin beristirahatlah dalam damai Tuhan, kami terus mengembara dan mencari kebenaran. Semoga Polisi dan semua pelaku keadilan akan mencari kebenaran dengan seadil-adilnya. Saya yakin kebenaran dan keadilan akan hadir pada saatnya.
Kita berharap, Polisi bekerja secara optimal untuk mengungkap kasus ini. Saya kenal beliau, kakak kelas saya (2 tahun di atas). Saya juga mendapat berita saat buka internet di sebuah hotel di jakarta.
kawanan domba menggiring gembala-nya ke tempat pembantaian. padahal sang gembala selalu berusaha menggiring dombanya ke padang rumput yang hijau. Tragis sekaligus ironis.
Don’t worry rekan – rekan sekalian. Kondisi terakhir hasil investigatif tim JPIC sudah mencapai titik final. Sudah ditetapkan tersangkanya dan saat ini kita menunggu proses di Pengadilan. Kita harus memberikan apresiasi kepada rekan – rekan tim advokasi JPIC yang di komandoi Rm Ronny Neto Wully, Pr. Mereka kerja all out….
Sampai ada tim JPIC yang diteror tapi semuanya tetap komit untuk tuntaskan kasus ini.
Tuhan memberkati